suku bangsa di manapun di dunia tentu
memiliki bentuk pakaian adatnya tersendiri, tak terkecuali bagi suku
atau etnik yang ada di seluruh Indonesia. Antara suku yang satu dengan
lainnya memiliki pakaian adatnya masing-masing sebagai ciri khas yang
membedakan mereka. Misalnya pakaian adat Jawa berbeda dengan Batak.
Demikian pula pakaian adat Padang berbeda dengan pakaian adat Aceh.
Namun perbedaan itu dalam khazanah kebudayaan Indonesia adalah suatu
kekayaan budaya bangsa, termasuk di dalamnya bentuk pakaian adat Aceh.
Mari kita mencoba
melihat kembali bagaimana bentuk pakaian adat Aceh, baik yang dipakai
laki-laki maupun perempuan. Meski pada dasarnya kedua pakaian itu
memiliki corak sama, namun dari segi ragam dan atribut ataupun
simbol-simbol yang digunakan ada perbedaan antara pakaian yang digunakan
laki-laki dan perempuan.
Warna kebesaran
Pakaian adat Aceh yang digunakan laki-laki berwarna hitam, karena warna
ini bagi masyarakat Aceh mengandung makna warna kebesaran. Jika
seseorang mengenakan baju dan celana berwarna hitam berarti orang itu
dalam pandangan masyarakat Aceh sedang memakai pakaian kebesarannya.
Lain halnya dengan masyarakat di daerah lain, bila mereka memakai
pakaian kehitam-hitaman bisa berarti mereka mungkin sedang berkabung
karena sesuatu musibah.
Dalam adat Aceh bila seorang pengantin lelaki (Linto Baro), secara adat
ia wajib memakai pakaian warna hitam, tidak boleh warna lain. Begitu
juga jika menghadiri upacara-upacara kebesaran resmi, laki-laki
diharuskan mengenakan pakaian berwarna hitam. Kecuali pada acara-acara
tidak resmi, bisa saja menggunakan pakaian dalam bentuk lain dengan
warna kesukaannya.
Untuk seseorang yang sedang mengadakan upacara kebesaran, seperti
pengantin baru khususnya laki-laki, selain harus mengenakan pakaian
warna hitam, secara adat juga harus menggunakan Kupiah Meukeutop lengkap
dengan Teungkulok dan Tampok. Untuk lebih lengkap lagi khusus bagi
pengantin laki-laki ini, pada Kupiah Meukeutop dihiasi mainan atau
hiasan seperti prik-prik agar lebih indah.
Pakaian linto baro juga dilengkapi kain sarung yang dililit dari
pinggang hingga di atas lutut. Di bagian pinggang diselipkan sebilah
senjata tajam Aceh, rencong atau siwah. Dalam prosesi upacara kebesaran
senjata tajam yang digunakan seorang linto baro sebaiknya siwah, bukan
rencong. Karena, siwah adalah senjata kebesaran Aceh, sedangkan rencong
senjata kepahlawanan.
Sekarang, untuk mendapatkan siwah sangat sulit karena sudah langka
ditemukan dalam masyarakat Aceh. Kalaupun ada, jumlahnya sangat
terbatas, hanya dimiliki kalangan tertentu dari kaum bangsawan, sehingga
dalam upacara-upacara banyak menggunakan rencong. Ini karena rencong
lebih mudah didapatkan dan masih diproduksi sampai sekarang. Saat
memakai rencong dan siwah, tidak lagi dianggap sebagai senjata tetapi
sebagai perhiasan.
Adat memakai rencong
Ada satu hal yang harus diperhatikan dalam memakai rencong, terutama
bagi linto baro, karena sering salah letak (lekuk gagang rencong tidak
boleh ke bawah, harus ke atas). Karena bila posisi cunggek rencong itu
ke bawah, secara adat Aceh orang yang memakainya dianggap sedang dalam
keadaan bahaya. Tetapi kalau cunggek rencong yang dipakai itu
diposisikan ke atas, secara adat akan menggambarkan sebaliknya.
Itu sebabnya dalam aturan penggunaan rencong ada ungkapan dalam
masyarakat Aceh: "Pantang peudeung meulinteung sarong, pantang rincong
meulinteung mata". Ini berarti, jika rencong yang dipakainya ber-cunggek
ke bawah, berarti mata rencong yang dipakai (bagian mata rencong yang
tajam) melintang ke atas. Dalam filsafat adat Aceh jika mata rencong
yang dipakai seseorang sudah melintang ke atas berarti orang itu sedang
dalam bahaya dan akan siap untuk bertempur.
Jadi, bila linto baro memakai rencong ber-cunggek ke bawah, secara
pemahaman adat Aceh sangat bertentangan suasana prosesi upacara
kebesaran yang tengah dilakoninya. Logisnya, seorang pengantin baru yang
sedang mengikuti upacara perkawinannya tidak mungkin dalam keadaan
tidak aman.
Karena itu, meski masalah letak rencong yang dipakai pengantin baru ini
merupakan masalah kecil, tapi ini harus menjadi perhatian kalau memang
berkeinginan meluruskan kembali adat-istiadat Aceh, walau dari hal-hal
sangat kecil sekalipun. Bila hal-hal sangat kecil itu dianggap tidak
penting dan dibiarkan, bukan tidak mungkin kesalahan-kesalahan besar
secara adat pun akan kita biarkan salah.
Begitu juga penggunaan kain berwarna pada tebung rencong (antara sarung
dengan gagang). Bagi linto baro atau orang yang ingin menghadiri suatu
seremoni dengan menggunakan pakaian adat Aceh lengkap dengan rencongnya,
maka warna kain yang dipakai pada rencong itu harus warna kuning.
Sedangkan kain warna merah adalah khusus untuk pengawal atau orang-orang
yang akan perang.
Dalam pakaian adat Aceh khususnya bagi laki-laki juga dikenal ija
seumadah, yakni sepotong kain empat segi yang biasanya dibuat dari sutra
dan benang emas. Atau ada juga yang dibuat dalam bentuk modifikasi,
pinggirannya terdiri dari kain sutra disulam benang emas, di tengahnya
kain biasa, seperti kain poplen atau jenis kain lainnya.
Pada keempat sisi ija seumadah, digantungkan beberapa jenis mainan dari
emas, suasa atau perak. Mainan ini berbentuk boh ru, korek kuping, dan
kunci-kunci penting, serta alat-alat yang dianggap sangat penting untuk
dipakai setiap saat oleh yang menggunakan ija seumadah itu.
Semua mainan itu digantung pada kain seumadah. Setelah kain itu
diletakkan di atas bahu, maka mainan yang tergantung pada kain itu
diletakkan pada bagian depan sehingga nampak indah dan menonjol.
Sedangkan dalam kain diisi sirih dan seperangkat alat makan sirih yang
lengkap. Yakni, terdiri dari daun sirih, kapur, pinang, gambir, serta
sebuah cubek, yaitu sebuah tempat pelumat sirih bagi yang giginya yang
sudah tidak kuat lagi mengunyah. Sehingga letak kain seumadah itu akan
berimbang ketika digantungkan di bahunya. Sebagian kain itu tergantung
ke depan dan sebagian lagi ke belakang sehingga sangat kecil kemungkinan
untuk jatuh ke depan atau ke belakang.
Kegunaan sirih yang ada dalam kain seumadah ini, bila mereka menghadiri
pertemuan-pertemuan atau musyawarah dengan orang-orang penting dan
terkemuka, maka pada saat istirahat sirih itu langsung dibuka dan
dimakan sambil menunggu musyawarah atau pertemuan dilanjutkan kembali.
Akan tetapi dalam perkembangan sekarang bentuk ija seumadah itu sudah
banyak dimodifikasi. Malah fungsinya tidak lagi sebagai pelengkap kain
yang dapat membawa alat-alat makan sirih. Kain seumadah sekarang
kelihatan hanya digantungkan beberapa buah mainan saja seperti boh ru
yang dijahit di bagian depan atau disisipkan dengan menggunakan jarum
pentul. Sehingga kelihatannya lebih berfungsi untuk perhiasan daripada
fungsi dan kegunaan ija seumadah itu sendiri.
Pada pakaian adat Aceh yang dipakai laki-laki ada perhiasan yang disebut
Ayeum Bajee. Perhiasan ini dipakai pada saat memakai pakaian
tradisional Aceh, ataupun pakaian mempelai. Pakaian terdiri dari tiga
untai rantai mirip bunga kelapa dan bunga aren yang disangkutkan pada
kantong jas Aceh. Dua untai di antaranya digantung di luar. Kedua
untaian itu dikaitkan hiasan bermotif ikan dan kunci.
Ikan dapat diartikan bahwa dalam Islam, meski ikan itu telah mati tanpa
disembelih masih halal dimakan. Sedangkan kunci melambangkan bahwa orang
Aceh sangat menjaga harta bendanya sehingga ke manapun pergi kunci
lemarinya dibawa serta.
Sementara satu untaian lagi bentuk untaiannya agak panjang dan
dimasukkan ke dalam kantong yang pada ujung untaian itu disangkutkan
sebuah jam kantong. Perhiasan ini disebut taloe jeuem (tali jam).
Perhiasan ini melambangkan bahwa orang Aceh sangat menghargai waktu.
Semua perhiasan Ayeum Bajee ini terbuat dari emas dan perak.
Penggunaan simbol-simbol adat dalam pakaian kaum laki-laki menurut adat
Aceh itu mestinya dapat kembali dipakai dalam upaya pelestarian
nilai-nilai adat-istiadat masyarakat Aceh di tengah-tengah kekhawatiran
hilangnya identitas nilai-nilai kebudayaan Aceh di tengah pengaruh
budaya global sekarang.
Pakaian Dara Baro
Pakaian adat bagi perempuan (dara baro) berbeda dengan pakaian adat
laki-laki. Atribut pakaian adat untuk dara baro lebih banyak terutama
pada perhiasan. Warna baju dara baro bukan warna hitam, tetapi boleh
merah, kuning, hijau dan lain-lain. Tapi kalau celana tetap hitam. Hanya
saja, bagi dara baro di bagian bawah celana memakai bunga kasab. Kalau
dulu ada yang namanya celana tunjong yang pinggangnya sangat besar. Tapi
sekarang tidak dipakai lagi.
Cara memakai kain juga berbeda. Kalau laki-laki dililit di pinggang
hingga di atas lutut. Sedangkan perempuan hingga ke bawah lutut. Kainnya
hampir sama yaitu sejenis kain songket.
Pada dara baro, pemakaian atribut perhiasan biasanya sangat banyak.
Perhiasan untuk dara baro dibuat dari emas dan perak bermotif Aceh. Dara
baro memakainya mulai dari rambut sampai ke kaki.
Perhiasan yang dipakai di kepala adalah tusuk sanggul (ada beberapa
macam), patham dhoi (mahkota), anting-anting, prik-prik (ayun gumbak)
yang letaknya bergantung di rambut kiri-kanan dekat telinga dan bunga
hidup melati/seulanga. Kemudian untuk hiasan leher: yang pertama klah
taku, baru kemudian di leher digantungkan berbagai atribut yang
kadang-kadang sampai menutup dada bagian atas seperti boh ru, talo
gulei, kanceng lhee, manek dirham, bing meuh dan banyak lagi jenis
perhiasan yang bermotif Aceh. Makanya hiasan leher sangat banyak.
Untuk bagian badan, di atas baju tradisional Aceh, disilangkan di muka
dan belakang perhiasan simplah, yaitu lempengan-lempengan bersegi enam
yang banyaknya sampai 36 keping. Kemudian pada lengan ada yang namanya
ajimat meuraket dan ikai. Sementara, di pergelangan tangan dipakaikan
perhiasan gelang dengan nama sawek, gelang pucuk reubung dan beberapa
gelang lainnya. Pada jari jemari kiri kanan dipakaikan cincin. Kemudian
dipakaikan tali pinggang sampai 10 ruas dan di tengahnya dipasang
capeung yang agak besar. Pada pergelangan kaki dipakaikan sepasang
gelang kaki canei intan.
Semua atribut dari logam itu terbuat dari emas 18 karat atau dari perak
bersepuh emas. Dengan demikian, dara baro telah lengkap dengan pakaian
kebesarannya dan ketika duduk mendampingi suaminya, dia setidaknya telah
bertambah berat beban sebanyak 3 kg. Memang setelah bersanding,
biasanya dara baro cukup lelah bahkan ada yang pingsan.
Ada lagi perhiasan yang dipegang di tangan yang pada empat sisi sapu
tangan warna kuning disangkutkan boh ru yang terbuat dari emas dan
perak.
Itulah sekilas penggunaan simbol-simbol adat dalam pakaian kaum
laki-laki dan perempuan menurut adat Aceh. Sudah semestinya
simbol-simbol itu dapat kita pikirkan kembali dalam upaya pelestarian
nilai-nilai adat-istiadat masyarakat Aceh.
luar biasa... smga tetap dapat dilestarikan pakaian adat aceh.
BalasHapusoiya,, ijin perkenalkan usaha kami juga ya,, https://acehkhas.com/
terima kasih.
wassalam..