Rabu, 01 Agustus 2012

suku bangsa di manapun di dunia tentu memiliki bentuk pakaian adatnya tersendiri, tak terkecuali bagi suku atau etnik yang ada di seluruh Indonesia. Antara suku yang satu dengan lainnya memiliki pakaian adatnya masing-masing sebagai ciri khas yang membedakan mereka. Misalnya pakaian adat Jawa berbeda dengan Batak. Demikian pula pakaian adat Padang berbeda dengan pakaian adat Aceh. Namun perbedaan itu dalam khazanah kebudayaan Indonesia adalah suatu kekayaan budaya bangsa, termasuk di dalamnya bentuk pakaian adat Aceh. Mari kita mencoba melihat kembali bagaimana bentuk pakaian adat Aceh, baik yang dipakai laki-laki maupun perempuan. Meski pada dasarnya kedua pakaian itu memiliki corak sama, namun dari segi ragam dan atribut ataupun simbol-simbol yang digunakan ada perbedaan antara pakaian yang digunakan laki-laki dan perempuan.

Warna kebesaran

Pakaian adat Aceh yang digunakan laki-laki berwarna hitam, karena warna ini bagi masyarakat Aceh mengandung makna warna kebesaran. Jika seseorang mengenakan baju dan celana berwarna hitam berarti orang itu dalam pandangan masyarakat Aceh sedang memakai pakaian kebesarannya. Lain halnya dengan masyarakat di daerah lain, bila mereka memakai pakaian kehitam-hitaman bisa berarti mereka mungkin sedang berkabung karena sesuatu musibah.

Dalam adat Aceh bila seorang pengantin lelaki (Linto Baro), secara adat ia wajib memakai pakaian warna hitam, tidak boleh warna lain. Begitu juga jika menghadiri upacara-upacara kebesaran resmi, laki-laki diharuskan mengenakan pakaian berwarna hitam. Kecuali pada acara-acara tidak resmi, bisa saja menggunakan pakaian dalam bentuk lain dengan warna kesukaannya.

Untuk seseorang yang sedang mengadakan upacara kebesaran, seperti pengantin baru khususnya laki-laki, selain harus mengenakan pakaian warna hitam, secara adat juga harus menggunakan Kupiah Meukeutop lengkap dengan Teungkulok dan Tampok. Untuk lebih lengkap lagi khusus bagi pengantin laki-laki ini, pada Kupiah Meukeutop dihiasi mainan atau hiasan seperti prik-prik agar lebih indah.

Pakaian linto baro juga dilengkapi kain sarung yang dililit dari pinggang hingga di atas lutut. Di bagian pinggang diselipkan sebilah senjata tajam Aceh, rencong atau siwah. Dalam prosesi upacara kebesaran senjata tajam yang digunakan seorang linto baro sebaiknya siwah, bukan rencong. Karena, siwah adalah senjata kebesaran Aceh, sedangkan rencong senjata kepahlawanan.

Sekarang, untuk mendapatkan siwah sangat sulit karena sudah langka ditemukan dalam masyarakat Aceh. Kalaupun ada, jumlahnya sangat terbatas, hanya dimiliki kalangan tertentu dari kaum bangsawan, sehingga dalam upacara-upacara banyak menggunakan rencong. Ini karena rencong lebih mudah didapatkan dan masih diproduksi sampai sekarang. Saat memakai rencong dan siwah, tidak lagi dianggap sebagai senjata tetapi sebagai perhiasan.

Adat memakai rencong

Ada satu hal yang harus diperhatikan dalam memakai rencong, terutama bagi linto baro, karena sering salah letak (lekuk gagang rencong tidak boleh ke bawah, harus ke atas). Karena bila posisi cunggek rencong itu ke bawah, secara adat Aceh orang yang memakainya dianggap sedang dalam keadaan bahaya. Tetapi kalau cunggek rencong yang dipakai itu diposisikan ke atas, secara adat akan menggambarkan sebaliknya.

Itu sebabnya dalam aturan penggunaan rencong ada ungkapan dalam masyarakat Aceh: "Pantang peudeung meulinteung sarong, pantang rincong meulinteung mata". Ini berarti, jika rencong yang dipakainya ber-cunggek ke bawah, berarti mata rencong yang dipakai (bagian mata rencong yang tajam) melintang ke atas. Dalam filsafat adat Aceh jika mata rencong yang dipakai seseorang sudah melintang ke atas berarti orang itu sedang dalam bahaya dan akan siap untuk bertempur.

Jadi, bila linto baro memakai rencong ber-cunggek ke bawah, secara pemahaman adat Aceh sangat bertentangan suasana prosesi upacara kebesaran yang tengah dilakoninya. Logisnya, seorang pengantin baru yang sedang mengikuti upacara perkawinannya tidak mungkin dalam keadaan tidak aman.

Karena itu, meski masalah letak rencong yang dipakai pengantin baru ini merupakan masalah kecil, tapi ini harus menjadi perhatian kalau memang berkeinginan meluruskan kembali adat-istiadat Aceh, walau dari hal-hal sangat kecil sekalipun. Bila hal-hal sangat kecil itu dianggap tidak penting dan dibiarkan, bukan tidak mungkin kesalahan-kesalahan besar secara adat pun akan kita biarkan salah.

Begitu juga penggunaan kain berwarna pada tebung rencong (antara sarung dengan gagang). Bagi linto baro atau orang yang ingin menghadiri suatu seremoni dengan menggunakan pakaian adat Aceh lengkap dengan rencongnya, maka warna kain yang dipakai pada rencong itu harus warna kuning. Sedangkan kain warna merah adalah khusus untuk pengawal atau orang-orang yang akan perang.

Dalam pakaian adat Aceh khususnya bagi laki-laki juga dikenal ija seumadah, yakni sepotong kain empat segi yang biasanya dibuat dari sutra dan benang emas. Atau ada juga yang dibuat dalam bentuk modifikasi, pinggirannya terdiri dari kain sutra disulam benang emas, di tengahnya kain biasa, seperti kain poplen atau jenis kain lainnya.

Pada keempat sisi ija seumadah, digantungkan beberapa jenis mainan dari emas, suasa atau perak. Mainan ini berbentuk boh ru, korek kuping, dan kunci-kunci penting, serta alat-alat yang dianggap sangat penting untuk dipakai setiap saat oleh yang menggunakan ija seumadah itu.

Semua mainan itu digantung pada kain seumadah. Setelah kain itu diletakkan di atas bahu, maka mainan yang tergantung pada kain itu diletakkan pada bagian depan sehingga nampak indah dan menonjol. Sedangkan dalam kain diisi sirih dan seperangkat alat makan sirih yang lengkap. Yakni, terdiri dari daun sirih, kapur, pinang, gambir, serta sebuah cubek, yaitu sebuah tempat pelumat sirih bagi yang giginya yang sudah tidak kuat lagi mengunyah. Sehingga letak kain seumadah itu akan berimbang ketika digantungkan di bahunya. Sebagian kain itu tergantung ke depan dan sebagian lagi ke belakang sehingga sangat kecil kemungkinan untuk jatuh ke depan atau ke belakang.

Kegunaan sirih yang ada dalam kain seumadah ini, bila mereka menghadiri pertemuan-pertemuan atau musyawarah dengan orang-orang penting dan terkemuka, maka pada saat istirahat sirih itu langsung dibuka dan dimakan sambil menunggu musyawarah atau pertemuan dilanjutkan kembali.

Akan tetapi dalam perkembangan sekarang bentuk ija seumadah itu sudah banyak dimodifikasi. Malah fungsinya tidak lagi sebagai pelengkap kain yang dapat membawa alat-alat makan sirih. Kain seumadah sekarang kelihatan hanya digantungkan beberapa buah mainan saja seperti boh ru yang dijahit di bagian depan atau disisipkan dengan menggunakan jarum pentul. Sehingga kelihatannya lebih berfungsi untuk perhiasan daripada fungsi dan kegunaan ija seumadah itu sendiri.

Pada pakaian adat Aceh yang dipakai laki-laki ada perhiasan yang disebut Ayeum Bajee. Perhiasan ini dipakai pada saat memakai pakaian tradisional Aceh, ataupun pakaian mempelai. Pakaian terdiri dari tiga untai rantai mirip bunga kelapa dan bunga aren yang disangkutkan pada kantong jas Aceh. Dua untai di antaranya digantung di luar. Kedua untaian itu dikaitkan hiasan bermotif ikan dan kunci.

Ikan dapat diartikan bahwa dalam Islam, meski ikan itu telah mati tanpa disembelih masih halal dimakan. Sedangkan kunci melambangkan bahwa orang Aceh sangat menjaga harta bendanya sehingga ke manapun pergi kunci lemarinya dibawa serta.

Sementara satu untaian lagi bentuk untaiannya agak panjang dan dimasukkan ke dalam kantong yang pada ujung untaian itu disangkutkan sebuah jam kantong. Perhiasan ini disebut taloe jeuem (tali jam). Perhiasan ini melambangkan bahwa orang Aceh sangat menghargai waktu. Semua perhiasan Ayeum Bajee ini terbuat dari emas dan perak.

Penggunaan simbol-simbol adat dalam pakaian kaum laki-laki menurut adat Aceh itu mestinya dapat kembali dipakai dalam upaya pelestarian nilai-nilai adat-istiadat masyarakat Aceh di tengah-tengah kekhawatiran hilangnya identitas nilai-nilai kebudayaan Aceh di tengah pengaruh budaya global sekarang.

Pakaian Dara Baro

Pakaian adat bagi perempuan (dara baro) berbeda dengan pakaian adat laki-laki. Atribut pakaian adat untuk dara baro lebih banyak terutama pada perhiasan. Warna baju dara baro bukan warna hitam, tetapi boleh merah, kuning, hijau dan lain-lain. Tapi kalau celana tetap hitam. Hanya saja, bagi dara baro di bagian bawah celana memakai bunga kasab. Kalau dulu ada yang namanya celana tunjong yang pinggangnya sangat besar. Tapi sekarang tidak dipakai lagi.

Cara memakai kain juga berbeda. Kalau laki-laki dililit di pinggang hingga di atas lutut. Sedangkan perempuan hingga ke bawah lutut. Kainnya hampir sama yaitu sejenis kain songket.

Pada dara baro, pemakaian atribut perhiasan biasanya sangat banyak. Perhiasan untuk dara baro dibuat dari emas dan perak bermotif Aceh. Dara baro memakainya mulai dari rambut sampai ke kaki.

Perhiasan yang dipakai di kepala adalah tusuk sanggul (ada beberapa macam), patham dhoi (mahkota), anting-anting, prik-prik (ayun gumbak) yang letaknya bergantung di rambut kiri-kanan dekat telinga dan bunga hidup melati/seulanga. Kemudian untuk hiasan leher: yang pertama klah taku, baru kemudian di leher digantungkan berbagai atribut yang kadang-kadang sampai menutup dada bagian atas seperti boh ru, talo gulei, kanceng lhee, manek dirham, bing meuh dan banyak lagi jenis perhiasan yang bermotif Aceh. Makanya hiasan leher sangat banyak.

Untuk bagian badan, di atas baju tradisional Aceh, disilangkan di muka dan belakang perhiasan simplah, yaitu lempengan-lempengan bersegi enam yang banyaknya sampai 36 keping. Kemudian pada lengan ada yang namanya ajimat meuraket dan ikai. Sementara, di pergelangan tangan dipakaikan perhiasan gelang dengan nama sawek, gelang pucuk reubung dan beberapa gelang lainnya. Pada jari jemari kiri kanan dipakaikan cincin. Kemudian dipakaikan tali pinggang sampai 10 ruas dan di tengahnya dipasang capeung yang agak besar. Pada pergelangan kaki dipakaikan sepasang gelang kaki canei intan.

Semua atribut dari logam itu terbuat dari emas 18 karat atau dari perak bersepuh emas. Dengan demikian, dara baro telah lengkap dengan pakaian kebesarannya dan ketika duduk mendampingi suaminya, dia setidaknya telah bertambah berat beban sebanyak 3 kg. Memang setelah bersanding, biasanya dara baro cukup lelah bahkan ada yang pingsan.

Ada lagi perhiasan yang dipegang di tangan yang pada empat sisi sapu tangan warna kuning disangkutkan boh ru yang terbuat dari emas dan perak.

Itulah sekilas penggunaan simbol-simbol adat dalam pakaian kaum laki-laki dan perempuan menurut adat Aceh. Sudah semestinya simbol-simbol itu dapat kita pikirkan kembali dalam upaya pelestarian nilai-nilai adat-istiadat masyarakat Aceh.